Type

blogs

Issue

Urban food systems

Di Simpang Seribu Iftar #3: Vital dan Informal

Nayaka Angger
Tue, 02 Aug 2022

5 min read

oleh Nayaka Angger, Asih Radhianitya, Rizqa Hidayani

Tulisan ini adalah penggalan terakhir dari seri blog Di Simpang Seribu Iftar yang merupakan bagian dari riset Urban Climate Foodprint atas dukungan IDRC dan Oak Foundation melalui inisiatif Think Climate Indonesia.

Baca: Di Simpang Seribu Iftar #1: Ramadan dalam Dinamika Pangan dan Warga
Baca: Di Simpang Seribu Iftar #2: Ruang yang Tunduk pada Semarak


“Ya, nyocokin sama jajanan buka puasa aja,” tutur Bu Eko ketika menceritakan alasannya berjualan gorengan. 

Pada hari-hari biasa, Bu Eko, seorang perempuan paruh baya, menjajakan nasi dan lauk-pauk di tepi Jalan Bendungan Hilir, Jakarta Selatan. Selama Ramadan, tepat di seberang lapaknya, puluhan meja lipat berbanjar di kolong naungan tenda seluas kurang lebih 12x5 meter. Di dalamnya terpampang helat bazar takjil masyhur yang menyajikan aneka hidangan iftar, mulai dari gorengan tahu, es blewah, sampai rendang paru. Untuk beradaptasi dengan tetangga musiman ini, beliau memutuskan putar haluan dengan menjajakan salah satu takjil favorit sejuta umat: gorengan.

Lima ratus kilometer jauhnya di timur Bu Eko, di kawasan sekitar Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Solo, Mas Iwan, seorang pria yang sehari-hari bekerja sebagai karyawan di perusahaan swasta, mencoba peruntungannya pada Ramadan tahun ini dengan berjualan es teler. Potensi meraup rezeki yang prospektif mengundang tak hanya pria yang sehari-hari bekerja sebagai karyawan di perusahaan swasta ini, tetapi juga banyak pedagang musiman lain untuk berjualan menu-menu berbuka di kampung-kampung kota ataupun di lokasi-lokasi pusat takjil.

Bu Eko dan Mas Iwan bukanlah satu-satunya. Mereka hanya sekelumit kecil dari komponen pokok kota yang tersohor luwes dan responsif dalam menjawab kebutuhan warga kota: sektor informal.

Sektor informal, atau khususnya pedagang informal dalam konteks ini, merupakan subjek yang dominan teramati hampir di setiap lokasi studi Kota Kita saat jalan-jalan di Jakarta dan Solo pada April lalu. Melanjutkan pembahasan pada bagian sebelumnya (Bagian I, Bagian II), sektor inilah yang punya kepekaan tinggi dalam menanggapi berbagai perubahan perilaku dan preferensi pangan warga. Menarik untuk mengamati bagaimana sektor ini beradaptasi untuk mengakomodasi perubahan tersebut, serta bagaimana kemudian mereka menempati dan memberi bentuk pada ruang kota dalam kesehariannya. 

Salah satu temuan menarik dari observasi di belasan lokasi pusat kegiatan berbuka adalah bagaimana sektor informal (dan formal) beradaptasi dalam mengorganisasi diri. Melalui wawancara dengan pedagang, setidaknya diketahui ada empat aspek yang disesuaikan dengan kondisi Ramadan, yakni waktu, komoditas, harga, dan lokasi. 

Jika bicara mengenai ibadah puasa, maka waktu merupakan aspek krusial. Hampir semua narasumber menyatakan bahwa mereka berjualan mulai sore hari menjelang waktu berbuka, menghindari jam berpuasa dari pagi hingga siang hari, terutama bagi yang menjual santapan jadi atau siap konsumsi. Kebanyakan datang agak cepat ke lokasi untuk memperoleh tempat melapak, jaga-jaga kalau kehabisan lokasi strategis. Kekompakan alur nalar ini membangun sejenis aba-aba tak kasat mata bagi ribuan pedagang dan pengunjung untuk tumpah ruah ke jalan tiap 1-2 jam menjelang magrib, menyesakkan kota dengan keriuhan yang sekonyong-konyong.

Pergeseran waktu operasional ini kerap disertai dengan penyesuaian komoditas dagang. Seperti Bu Eko tadi, terdapat pedagang yang khusus menambahkan atau mengganti dagangannya menjadi sajian yang diminati selama Ramadan, seperti gorengan, kue jajan pasar, atau ragam minuman es manis. Kesenadaan jajaan antarlapak yang terlihat saat bertandang ke pusat-pusat takjil menguatkan praduga bahwa ada peralihan massal menuju kelompok komoditas tertentu. Selain itu, sifat pedagang informal yang cenderung sementara dan footloose memungkinkan mereka menjadi lebih fleksibel dalam “mengutak-atik” komponen usahanya tanpa menanggung risiko kehilangan modal yang terlalu besar.

Harga, sebagai konsekuensi dari perubahan perilaku dan preferensi tersebut, cenderung meningkat selama Ramadan; seperti keniscayaan bahwa Ramadan pasti menggoyahkan keadaan pasar. Pada tahun ini, tercatat setidaknya tujuh komoditas pangan yang mengalami kenaikan harga bahkan dua minggu sebelum memasuki bulan puasa, di antaranya cabai, daging sapi, dan minyak goreng¹. Kenaikan permintaan yang tidak diiringi dengan kesiapan suplai ditengarai menjadi salah satu penyebabnya², diperparah dengan antusiasme penduduk Indonesia yang sudah dua tahun gagal lebaran karena pandemi. Dari perspektif pedagang, kenaikan harga bahan pangan di pasar dan tumbuhnya permintaan akan mendorong penyesuaian harga jual. Kenaikan ini tercermin pula dari sudut pandang warga sebagai pembeli.

Secara keruangan, terdapat beberapa pedagang yang sengaja berpindah tempat ke lokasi yang dianggap lebih strategis, biasanya ke bazar, pasar-pasar takjil, atau pinggir-pinggir jalan utama. Alih-alih berpindah lokasi, ditemukan pula pedagang yang memiliki kapasitas untuk menambah lokasi berjualan baru. Seorang penjual tahu gejrot di bantaran BKT, Jakarta Timur, mengutarakan bahwa ia mengerahkan saudaranya untuk membuka lapak kue-kue takjil di perumahan militer tidak jauh dari situ. Faktor lokasi memang tampak punya peran tak tergantikan dalam menentukan laris atau gersangnya ikhtiar dagang. Di Solo bahkan ditemukan sekumpulan pedagang dari asal lokasi sama yang ramai-ramai pindah berdagang ke sekitar UMS—berbagi ruang dengan Mas Iwan—untuk mengejar kerumunan konsumen. Klaster-klaster informalitas ini mengisyaratkan sebentuk komunalitas kelompok yang di dalamnya pertukaran informasi dan saling bantu menjadi modal sosial utama, membuat sektor informal begitu tangguh juga lenting dalam menavigasikan dirinya di kota; secara kolektif menumbuhkan titik ungkit untuk menegosiasikan eksistensinya dalam ruang kota. 

Dalam studi ini, informalitas menjadi komponen urban yang begitu lekat dengan Ramadan dan beragam konsekuensi sosial-kultural turunannya. Pada banyak titik antarmuka sistem pangan, informalitas mengambil peran untuk memudahkan warga menyambung hidup, baik bagi pelaku, perantara, maupun penerima manfaat. Mulai dari pedagang pasar, sistem logistik, kelompok PKL, pengorganisasian lahan, kurir daring, juru parkir, hingga pelanggan. Tanpa itu semua, ribuan iftar di senja kala kota tak akan punya rumah untuk menampung semaraknya.
 

Selepas Ketupat

Pangan, warga, dan ruang kota tertaut dalam jalinan yang rumit. Arus perputaran pangan begitu deras, komoditas bertukar tangan dan berpindah ruang dengan lekas. Berbagai fenomena Ramadan yang dibahas di atas hanya memperlihatkan kompleksitas sistem pangan kota dalam skala dan derajat intensitas yang diperbesar; yang pada waktu-waktu biasa juga sebetulnya terjadi di sela-sela keseharian warga, menempati celah-celah ruang kota untuk mengantarkan makanan dari kebun ke piring kita.

Tentu, hiruk pikuk Ramadan juga tak luput dari persoalan dan melahirkan banyak pertanyaan untuk direfleksikan: Bagaimana dengan ketertiban yang banyak dikompromikan di ruang informal? Bagaimana dengan timbulan sampah sisa makanan dari kenduri iftar ini? Bagaimana dengan akses pangan untuk masyarakat miskin kota? Bagaimana kita bisa mendorong praktik dan laku pangan yang berkelanjutan, mengingat Ramadan seyogianya penuh kesederhanaan, kepedulian, dan penguasaan diri?

Pertanyaan baru justru timbul seiring mendalam dan meluasnya pemahaman akan kota, seiring tiap lapis tipis realitas yang berhasil disibak. Namun, terlepas dari ketidaksempurnaan studi kecil ini, setidaknya ada pengingat berharga bahwa makanan adalah bagian penting bukan hanya dari manusia dan perutnya, melainkan juga kota dan rupa-rupa rautnya.

 

Peneliti:

(Jakarta) Nayaka Angger, Asih Radhianitya, Wulandari Anindya Kana, Fildzah Husna, Vanesha Manuturi, Gregorius Jasson, Adinda Angelica

(Solo) Rizqa Hidayani, Ahmad Rifai, Kirana Putri Prastika, Bisma Setyadi, Nisita Pradipta, Asri Septarizky

 

Catatan Kaki

1. KOMPAS.com. Jelang Ramadhan. Hampir Seluruh Komoditas Pangan Mengalami Kenaikan Harga.
2. Center for Indonesian Policy Studies. Kenapa Harga Pangan Selalu Naik Jelang Lebaran? | Ep. 1 Bu Makmur Bertanya. (Video)