Type
blogs
Scope of Work
Civic Education & Empowerment
Issue
Climate Justice
Serupa Jeda, Menjalar Riak: Melantangkan Keadilan Iklim di Pesisir Utara Jawa
Rendy Manggalaputra
Thu, 24 Apr 2025

5 min read
by Rendy Manggalaputra and Talitha Benny
Every story of transformation — whether about healing, resistance, innovation, or growth — equips us with tools to reimagine systems, nurture resilience, and act collectively — UCA Semarang 2024
Beberapa perubahan datang begitu cepat, bahkan membawa berita yang mengkhawatirkan. Krisis iklim, misalnya, kian hari kian mengancam kehidupan manusia dan ekosistem alam. Proyeksi pada tahun 2050 menunjukkan bahwa sekitar 23 juta penduduk yang tinggal di pesisir Indonesia terancam menghadapi banjir pesisir tahunan dan diperkirakan akan terus meningkat.
Di tengah kenyataan tersebut, Indonesia justru tercatat sebagai salah satu negara dengan tingkat penyangkalan krisis iklim tertinggi di dunia. Banyak masyarakat masih menganggapnya sebagai bagian dari “hukum alam” semata—terlepas dari keterlibatan aktivitas manusia. Skeptisisme ini dapat berkembang menjadi ketidakpercayaan terhadap solusi ilmiah yang selama ini ditawarkan; menciptakan kesenjangan antara pemahaman publik yang terbatas dengan dampak krisis iklim yang terus berjalan.
Lebih jauh lagi, narasi untuk menyiasati krisis iklim masih jarang dibangun dari pengalaman warga yang terdampak langsung. Padahal, masyarakat pesisir—utamanya perempuan—adalah kelompok rentan. Mereka tinggal di daerah rawan bencana iklim, hidup berdampingan dengan risiko setiap harinya—dari banjir rob yang menggenangi rumah, hilangnya mata pencaharian, hingga meningkatnya biaya air bersih dan akses hunian layak. Sayangnya, suara mereka belum banyak diangkat sebagai prioritas, seringkali malah terpinggirkan dari perencanaan kebijakan iklim nasional maupun global.
UCA Semarang 2024: Melantangkan Keadilan Iklim
Krisis iklim kini telah menjadi kenyataan sehari-hari. Sebagai respons atas problem ini, Kota Kita melalui Program Urban Citizenship Academy (UCA) hadir sebagai ruang belajar yang mendorong partisipasi bermakna dalam isu-isu perkotaan, termasuk krisis iklim. UCA dirancang untuk memperkuat kapasitas orang muda dan warga—terutama di wilayah yang paling terdampak—dalam memahami akar permasalahan, menyuarakan pengalaman, dan turut andil dalam proses kebijakan.
Kali ini, UCA hadir di Semarang dengan fokus pada krisis iklim di kota pesisir dan isu hak atas kota. Misinya jelas dan penuh harapan: Melantangkan Keadilan Iklim. Lebih dari sekadar pelatihan, ini adalah perjalanan kolektif untuk membangun narasi keadilan iklim melalui pengalaman warga dan cerita lokal.
Dari November 2024 hingga Maret 2025, sebanyak 24 peserta terpilih—beberapa tinggal di wilayah pesisir—terlibat dalam proses memahami kerentanan dan ketangguhan daerah pesisir utara Jawa—khususnya Semarang dan Demak. Dalam prosesnya, program ini menjalin kolaborasi dengan berbagai pihak seperti akademisi, NGO, media, dan komunitas untuk memperluas perspektif peserta dalam membentuk ulang pengetahuan dan pengalaman menjadi narasi yang menggugah.
Membangun Narasi, Menggugah Kesadaran
Langkah awal dimulai dengan lima sesi pelatihan. Kegiatan ini menjadi landasan untuk membangun pemahaman yang mendalam tentang keadilan iklim. Para peserta berkenalan dengan berbagai materi terkait keadilan iklim dan hak atas kota, kerentanan dan ketangguhan pesisir, serta metode pengumpulan data partisipatif. Sesi ini berjalan interaktif—mengombinasikan teori dengan studi kasus, diskusi, hingga bermain peran. Tujuannya agar peserta memahami isu secara konseptual sembari mengasah kepekaan sosial.
Selanjutnya, peserta menempuh kerja lapangan selama satu bulan. Mereka terbagi dalam tiga kelompok studi kampung pesisir—Mangunharjo, Tambaklorok, dan Timbusloko—dan terjun langsung untuk menggali cerita dari warga yang terdampak krisis iklim. Dengan berbagai metode partisipatif seperti transect walk, observasi, wawancara, FGD, participatory mapping, dan shadowing, peserta berinteraksi langsung dengan warga dan lingkungan tempat mereka tinggal. Pengetahuan dan inisiatif lokal melatih peserta untuk menjadi penutur yang kritis dan berpihak dalam menyuarakan kebutuhan kelompok rentan.
Berbekal pengalaman kerja lapangan, peserta masuk ke proses mentoring. Sesi ini bertujuan untuk memberikan dukungan kepada peserta dalam mengolah data dan pengalaman menjadi tulisan, foto, atau karya visual lainnya sebagai media menyuarakan keadilan iklim yang menggugah. Bimbingan dari para praktisi turut membantu memastikan penyusunan karya memiliki pesan yang kuat dan relevan dengan isu yang ingin disampaikan. Karya-karya ini ditampilkan dalam Bunga Rampai dan Pameran Karya sebagai panggilan aksi perubahan.
Pameran sebagai Praktik sekaligus Panggilan
Rangkaian kegiatan UCA Semarang 2024 mencapai puncaknya dalam pameran publik bertajuk ‘Akankah Pesisir Utara Jawa Tenggelam?’ yang telah berlangsung pada tanggal 14-20 Maret 2025 di Rumah Pohan, Kota Lama, Semarang. Pameran ini dibuka dengan diskusi publik dan gallery walk. Kegiatan ini membuka ruang dialog lintas aktor untuk mengangkat cerita iklim yang kerap terabaikan dan merespon kompleksitas krisis iklim di pesisir utara Jawa. Harapannya tumbuh komitmen mewujudkan keadilan iklim yang mendorong inisiatif inklusif, tanggap, dan berpihak pada kelompok rentan—demi mewujudkan kota yang lebih tangguh dan berkelanjutan.
Selama satu minggu pergelaran, puluhan karya seni reflektif bertemu dengan ratusan pengunjung. Karya-karya ini memadukan temuan peserta UCA di lapangan dengan tutur cerita warga melalui lensa intersubjektivitas. Selain itu, ruang pameran juga diaktivasi dengan berbagai kegiatan, seperti lokakarya membatik, membuat zine, dan membaca buku bersama. Beberapa hasil lokakarya tersebut ikut dipamerkan sebagai bagian dari ruang tumbuh yang terbuka.
Berbagai aktivasi kegiatan menghidupkan ruang pasif menjadi arena interaksi bermakna dan reproduksi ruang, dimana penciptaan makna ulang atas fungsi dan simbol ruang dapat berkontribusi pada refleksi bersama untuk menyiasati perubahan dan krisis iklim. Beberapa peserta membagikan pengalamannya ketika berkunjung dan terlibat di pameran:
"Ini merupakan pertama kali aku mengikuti workshop membatik, seru dan menyenangkan. Di sini aku baru tahu bahwa ternyata mangrove dapat diolah menjadi berbagai macam produk seperti pewarna alami untuk batik. Batik mangrove ternyata memiliki berbagai ciri khas motif-nya sendiri dan tidak kalah saing dengan ragam batik lainnya" (Olivia, peserta lokakarya membatik)
"Setelah mengikuti lokakarya membuat zine, saya baru tahu kalau ternyata zine bisa menjadi medium untuk menyuarakan isu keadilan iklim. Ternyata menyuarakan sesuatu tak perlu muluk-muluk, tetapi bisa berangkat dari hal sederhana, seperti membuat kolase zine! Sesuatu yang sederhana sekaligus bermakna!" (Retno, peserta lokakarya membuat zine).
"Di sini kita berliterasi, bukan hanya dengan membaca dan berdiskusi melainkan untuk menuliskan kembali, kemudian merasakan bahwa lingkungan dan iklim di sekitar kita tidak sedang baik-baik saja. Kita patut peduli dengan keadilan ekologi dan mengingat bahwa saudara kita di daerah pesisir masih merasakan ketidakadilan iklim" (Dandy, peserta baca buku bareng).
Advokasi melalui aktivisme seni dinilai sebagai platform yang relevan dalam menyampaikan pesan dengan signifikan; mudah dipahami untuk diterima oleh berbagai identitas. Pameran ini bukan sekadar pelabuhan karya. Seluruh pesan dan pengalaman sepanjang rangkaian program UCA Semarang 2024 hendaknya diamalkan dalam keseharian—sebagai praktik mewujudkan keadilan iklim yang inklusif. Serupa jeda di tengah derasnya arus perubahan—singgah sebagai panggilan—kelak menjalar menjadi riak keadilan; ada harapan bagi masa depan kota serta lingkungan yang adil dan lestari untuk semua.