Type
blogs
Scope of Work
Civic Education & Empowerment
Issue
Climate Justice, Rights to the City
Rob Pesisir Rampas Hak Anak di Bedono Demak: Sekolah Tergenang, Ruang Bermain Tenggelam
Kota Kita Contributor
Sun, 29 Jun 2025

8 min read
by Nazhira Khairunnisa (Peserta Urban Citizenship Academy Semarang 2024)
Jam menunjukan pukul 06.30 ketika Ariq (9) sampai di sekolah. Sepeda diletakkan begitu saja di depan SDN 3 Bedono, Kecamatan Sayung, Demak, Jawa Tengah. Ariq bergegas meletakkan tas di ruang kelas. Lalu bergabung bermain dengan temannya di lincak (kursi bambu berukuran 4x5 meter, Red). Di bawah lincak tempatnya duduk sudah terlihat air laut.
“Wis maju iki banyune (ini airnya sudah naik, Red),” ujar Ariq ketika kakinya terulur ke bawah, menyentuh permukaan air.
Anak-anak SDN 3 Bedono bermain di lincak, sembari menunggu jam pelajaran dimulai.
Begitulah rob. Terkadang datangnya memang tidak mengenal waktu. Bisa pagi, siang, sore, atau bahkan malam. Rob bisa datang sekali dalam sehari, bisa pula dua kali dalam sehari. Kecenderungan rob datang sekali biasanya robnya besar. Jika datangnya dua kali maka robnya kecil. Namun ada kalanya datang dua kali pun tetap besar.
Di lincak, Ariq dan teman-temannya bermain ayunan secara bergantian sambil menunggu waktu pembelajaran tiba. Tidak ada bunyi bel, tapi teriakan guru sudah cukup menandakan dimulainya kegiatan belajar. Ariq dan teman-temannya bergegas masuk ke kelas.
Ariq duduk di kelas 4. Ia harus menunduk agar bisa masuk ke dalam kelas. Sebab atap kelas sudah sangat pendek, jarak ke tanah pun tidak sampai 1.5 meter. Dinding kelasnya lembab mengelupas. Atapnya bolong, bermacam barang berserakan di mana-mana. Kelas juga dihias bermacam bunga-bungaan dari plastik bekas dengan harapan menambah keindahan kelas.
Lantai kelas itu tak lagi rata. Beberapa bagiannya terjal karena kini lantainya dari tanah dan batu padas. Beberapa meja tampak miring karena tanah tetap amblas di mana-mana. Saking miringnya hanya mampu menampung barang yang tidak mudah menggelinding. Pensil dan pulpen sudah pasti menggelinding begitu diletakkan di atasnya.
Lantai yang tidak rata menjadi penyebab meja dan kursi miring.
Abdul Lathif (43), Guru SDN 3 Bedono mengatakan ada peninggian ruang kelas pada Mei 2025. Namun hanya dua kelas saja. Itupun hanya setengah ruangan karena tanahnya tak cukup.
“Ada 3 kelas yang paling parah, tapi kita cuma bisa ninggiin kelas 4 sama 5. Soalnya kelas 6 kan udah nggak ada pelajaran jadi kita utamakan yang butuh dulu,” ujarnya.
Suasana belajar di ruang kelas tiga SDN 3 Bedono. Ruang kelas sudah ditinggikan namun hanya setengahnya.
Meski sudah ditinggikan dengan tanah dan batu padas, air tetap merembes dan masuk ke kelas. Ruang kelas kembali amblas. Padahal baru sebulan sejak ruang kelas ditinggikan. Lathif bilang kondisi ini membuat ruang gerak anak menjadi terbatas. Bahkan siswa yang duduk di barisan paling belakang perlu lebih hati-hati. Sebab hanya sejengkal di belakangnya sudah digenangi air dengan ketinggian mencapai 25 centimeter.
“Sebenarnya mau bilang nyaman ya tidak nyaman, tapi ya tetap harus belajar, lha wong (memang, Red) ini kondisi alamnya begini, air juga udah ricih-ricih (sedikit-sedikit, Red) masuk”
Senada, Suci Hidayati (39), wali kelas 4 SDN 3 Bedono mengeluhkan kondisi belajar yang kurang efektif akibat rob. Katanya sebelum kelas diurug, para siswa harus mencopot sepatu. Kaki mereka terendam. Lalu jika rob tidak terlalu besar, anak-anak harus mengepel lantai sebelum mulai belajar.
“Kalau robnya kecil, tetap harus ngepel dulu bareng-bareng satu kelas” ujarnya.
“Ini anak-anak pada kecekan (bermain air, Red), kelas bentuknya udah kayak kolam renang, jadinya ya pembelajaran kurang efektif,” imbuh Ageng Siti Masruroh (43), Wali Kelas 5 SDN 3 Bedono.
Rob mulai menggenangi teras ruang kelas 4, SDN 3 Bedono.
Hak Anak di Desa Bedono Tak Terpenuhi
Tak hanya hak atas pendidikan yang layak. Hak bermain dan bersenang-senang juga tak dimiliki oleh anak-anak di Desa Bedono. Krisis iklim tak hanya merenggut ruang kelas mereka. Namun juga ruang bermain anak di SDN 3 Bedono. Lapangan sekolah sudah ditinggikan pada Desember 2024. Namun peninggian lapangan setinggi 80 cm kini sudah jadi 20 cm. Tanah mulai turun lagi.
Lebih lanjut, anak-anak Bedono biasanya bermain selepas ashar, setelah mengaji di Madrasah Diniyah atau akrab disebut madin. Namun karena tidak menentunya jadwal rob, kegiatan mengaji dan bermain kadang tidak dilakukan. Tasya (9) mengaku saat rob tinggi sering kali mengaji diliburkan, karena akses menuju madrasah tertutup.
“Kemarin pas besar banget robnya, madin libur. Soalnya jalan depan madin itu tenggelam banget,” ujar Tasya.
Mereka lalu lebih banyak menghabiskan hari di rumah saja. “Kalau rob besar, nggak ada yang main, jadi biasanya di rumah main HP aja,” ucapnya
Sama halnya dengan Tasya, Ariq pun lebih memilih menghabiskan waktu di rumah ketika rob besar melanda. ”Kalau masih kecil masih bisa main, tapi kalau besar banget ya di rumah,” tutur Ariq.
Ini dibenarkan oleh Aisyi, sang Ibu. Menurutnya Ariq terbiasa bermain di rumah jika rob sedang besar. Selain itu Aisyi pun menaruh perasaan khawatir yang membuatnya harus ekstra menjaga anaknya.
“Biasanya ya tak suruh di sekitar rumah kalau mau main jiguran (bermain air, Red), sambil tak awasi, sedelo-sedelo (sebentar-sebentar, Red) tak tonton,” tutur Aisyi. Ini dilakukannya bukan tanpa alasan, beberapa kali sudah pernah terjadi kasus anak tenggelam.
“Nek kejadian wingi Nafisha, kelas 6 wis lulus saiki, asline yo mung cigur-ciguran ning pinggir. Kelelep ngasi mutah getih. Saking suwene to, coro banyu asin kan keras yo. Njuk digowo rumah sakit alhamdulillah selamat (Nafisah yang sudah lulus pernah tenggelam hingga muntah darah karena air laut asin. Lalu dibawa ke rumah sakit dan alhamdulilah selamat, Red)” jelasnya.
Lalu saat rob kecil, Ariq dan anak Desa Bedono lainnya banyak bermain di antara rerimbunan pohon mangrove, di jalan, di pinggiran Sungai, dan di mana saja, asal bisa bermain. Ini karena ruang bermain mereka semakin menyempit tergerus krisis iklim.
“Ora, ora wedi (tidak, tidak takut, Red),” begitu jawaban Ariq sambil menggoncang- goncangkan pohon mangrove ketika ditanya apakah takut bermain di pohon mangrove, mengingat dibawahnya langsung permukaan air laut.
Ariq dan teman-temannya bermain di pohon mangrove, ini biasa dilakukan saat jam istirahat sekolah maupun diluar jam sekolah.
Keselamatan anak-anak Bedono juga menjadi hal yang sangat penting. Para orangtua berupaya melakukan adaptasi. Rifai yang merupakan kakek Tasya mengatakan harus menambah pagar. Rifai khawatir kalau cucunya terjatuh ke air.
“Kanan kirine iki langsung banyu to (kanan kirinya ini langsung berbatasan sama air, Red), jadi ya harus dipagari,” ucapnya.
Hal serupa juga dilakukan oleh Siti Aisyah, ibu Faiz (8), ia menambahkan pintu pada bagian belakang rumahnya. Karena sebagian rumahnya yang sudah di gladak (peninggian lantai rumah dengan papan atau bilah bambu, Red) membuat anaknya lebih rentan. Terlebih sudah ada kejadian anaknya terjatuh ke air.
“Mburi iki kan langsung banyu (belakang ini langsung air, Red). Dadi iki (jadi ini, Red) ditambah pintu pagar, soale Faiz wis pernah jatuh mbak,” ucapnya.
Penurunan Tanah di Pesisir Utara Jawa Semakin Cepat
Berdasarkan buku Urip Dioyak-Oyak Banyu yang ditulis oleh Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, Mila Karmilah dkk menyebutkan bahwa pada 08 Agustus 2021, Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Demak, Arso Budiyatno menyatakan, pesisir Kecamatan Sayung mengalami penurunan tanah (land subsidence) sebesar 4-12 cm/tahun.
Angka tersebut diingat Arso dari rapat sebuah konsorsium pada Juni 2021. Rapat itu dihadiri Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah, Universitas Diponegoro Semarang, dan Wetlands International–sebuah organisasi asal Belanda.
Land subsidence di wilayah pesisir Demak merupakan satu-kesatuan dengan apa yang terjadi di Kota Semarang. Wilayah Sayung merupakan pesisir utara Demak yang memiliki lapisan tanah yang relatif muda. Sehingga tidak cukup kuat untuk menahan beban berat seperti bangunan besar. Apabila dipaksakan, maka itu dapat memperparah laju penurunan muka tanah. Kemudian ada indikasi bahwa pabrik-pabrik di Kecamatan Sayung mengambil air tanah (sumur artesis/bor) secara berlebihan. Sehingga memicu amblesan tanah.
Land subsidence mengakibatkan atap semakin rendah bahkan hampir menyentuh tanah, anak-anak perlu menunduk untuk masuk kelas.
Mila Karmilah yang kerap melakukan penelitian tentang persoalan di pesisir Semarang-Demak mengatakan, penurunan tanah di wilayah pesisir utara lebih cepat. Hal ini terjadi salah satunya akibat dampak pembangunan tol tanggul laut pada tanah.
“Iya jadi lebih cepat penurunannya, kalau dulu kan belum ada pembangunan tol tanggul laut. Jadi belum ada pembebanan yang cukup berat,” ujarnya, Kamis, 19 Juni 2025.
“Bayangkan saja ada berapa banyak itu yang beton yang dipancangkan ke tanah. Misalnya satu tiang itu mungkin beratnya adalah ratusan ton kalikan saja dengan berapa banyak. Jadi ya pasti gitu pasti akan mengalami penurunan lebih cepat dibandingkan sebelum adanya pembangunan tanggul tol laut,” lanjutnya.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jateng, Fahmi Bastian menyoroti penurunan tanah di Desa Bedono semakin cepat. Salah satu faktor penyebabnya ialah letak Desa Bedono yang dekat dengan kawasan industri. Lokasinya hanya 13 kilometer dari kawasan industri Genuk dan 15 kilometer dari kawasan industri Sayung.
“Sehingga penggunaan air tanah secara besar-besaran terjadi,” ujarnya.
Fahmi menambahkan dalam 5 tahun terakhir, terdapat pula pembangunan industri di daerah Sayung, yang berjarak 15 kilometer dari Desa Bedono. Pembangunan kawasan industri besar sering kali menyebabkan perubahan penggunaan lahan yang signifikan dan degradasi lahan. Termasuk penghilangan vegetasi alami dan perubahan struktur tanah yang berpengaruh pada kesuburan tanah dan meningkatkan risiko abrasi.
Selain penurunan yang makin masif, kenaikan permukaan laut juga turut serta mempercepat tenggelamnya dusun-dusun yang ada di Desa Bedono. Fahmi menyebut saat ini ada tiga dari tujuh dusun di Bedono yang sudah tenggelam. Dusun tenggelam meliputi Dusun Tambaksari, Rejosari, dan Mondoliko. Sedangkan sisanya Dusun Tonosari, Morosari, Pandansari, dan Bedono.
“Permukaan air laut di Dusun Bedono diperkirakan mengalami kenaikan sebesar 10-13 cm setiap tahunnya. Abrasi besar-besaran juga pernah terjadi pada 2013-2020,” imbuhnya.
Sementara garis pantai desa tersebut telah tererosi dan bergerak mundur sejauh 142,81 meter. Sedangkan laju abrasi sebesar 19,87 meter per tahun. Hal ini mengakibatkan hilangnya area di sebelah barat Dusun Bedono, yang mencapai hampir 2 kilometer (per tahun 2024).
Jika tidak ditangani dengan baik, masifnya penurunan tanah, abrasi dan kenaikan permukaan air laut, tentu akan terus menggerus dan menyempitkan wilayah Desa Bedono. Ini artinya ruang belajar dan bermain anak akan turut terenggut juga.
Penuhi Hak Anak Demi Indonesia Emas 2045
Anak-anak Desa Bedono tidak mendapatkan hak mereka seutuhnya, adalah buntut panjang krisis iklim. Menurut Yuli Sulistiyanto dari Yayasan Setara, sebuah Yayasan yang fokus pada hak-hak anak, mengatakan bahwa hak anak adalah tanggung jawab negara. Bahkan hak anak juga sudah tertuang dalam pasal 54 UU No. 35 tahun 2014.
“Negara berkewajiban memenuhi hak-hak anak dari mulai kandungan hingga 18 tahun, Kemudian wajib menghargai hak anak, melindungi, dan mempromosikan hak anak,” tutur Yuli Sulistiyanto saat diwawancarai pada 14 Juni 2025.
Namun dengan melihat keadaan di Desa Bedono, mulai dari akses pendidikan yang tak layak hingga beberapa kejadian anak tenggelam, menurutnya hak-hak dasar anak tidak terpenuhi.
“Kalau sampai ada yang tenggelam kan artinya hak anak tidak terpenuhi, anak tidak terlindungi,” ucapnya.
Tahun 2045, Indonesia akan mencapai puncak bonus demografi. Jumlah penduduk usia produktif akan mencapai puncak sepanjang sejarah. Potensi ini dapat berakibat baik atau justru jadi bumerang jika tidak diiringi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Mengutip dari Indonesia2045.go.id, peningkatan kualitas SDM masuk ke dalam salah satu visi Indonesia Emas 2045. Namun jika kita menilik krisis iklim di Desa Bedono berimbas pada tidak terpenuhinya hak belajar dan bermain mereka. Bahkan menurut laporan UNICEF, Indonesia berada pada peringkat 43 dari 163 negara pada Indeks Resiko Krisis Iklim Anak. Ini menunjukan kerentanan anak-anak terhadap dampak dari krisis iklim.
Pemerintah Indonesia tidak benar-benar mengerti apa yang jadi permasalahan sesungguhnya. Hal ini terlihat dengan tidak seriusnya penanganan rob di pesisir terutama yang berkaitan dengan akses pendidikan.
Kepala Bidang Pembinaan SD dan SMP, Dinas Pendidikan Kabupaten Demak, Nadhif Alawi (49), mengungkapkan alasan sekolah tidak mendapatkan bantuan adalah peraturan yang tidak memasukan rob sebagai bagian dari kebencanaan.
“Kementerian itu tidak paham, sekolah itu dinilai tidak rusak, padahal kan tergenang. Itu tidak bisa jadi alasan mereka dapat bantuan dari pemerintah. Apalagi rob itu tidak masuk ke dalam peraturan tentang kebencanaan,” tuturnya, Senin, 16 Juni 2025.
“Tawaran yang selalu ditawarkan kementerian itu relokasi, lha relokasi mau ke mana? Semuanya juga kena rob,” imbuhnya.
Yuli Arinta Dewi, Dosen Psikologi Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) mengatakan secara ideal seharusnya anak-anak memperoleh pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan perkembangannya. Namun anak-anak harus berhadapan dengan fakta sosial bahwa krisis iklim berdampak pada perkembangan tumbuh kembangnya.
“Anak-anak itu kan butuh suasana stabil untuk belajar, suasana yang menyenangkan, yang aman. Kondisi emosionalnya bisa berubah, rasa nyaman dan amannya bisa jadi rusak.” Ucapnya.
Menurutnya kondisi-kondisi yang menyulitkan seperti ruang kelas tidak nyaman, akses ke sekolah yang sulit, belajar sambil nyeker, dan kondisi lainnya bisa menjadi satu alasan menurunkan motivasi belajar.
“Nanti dampak jangka panjangnya adalah kemiskinan struktural,” imbuhnya.
Yuli Arinta Dewi juga menuturkan bahwa hilangnya ruang belajar dan bermain Anak Desa Bedono bisa berakibat pula pada terhambatnya perkembangan dari sisi motoriknya. Pada tahap perkembangannya, anak-anak adalah manusia yang secara fisik lemah.
“Anak itu butuh ruang terbuka untuk mengembangkan keterampilan motorik kasarnya,” ujarnya.
Krisis iklim juga jadi satu faktor terjadinya perundungan. Di SDN 3 Bedono, Ariq, saat ia duduk di kelas 1 dan 2 pernah menjadi korban perundungan. Ini terjadi disinyalir karena umurnya yang paling muda.
Aisyi, sang Ibu bercerita, karena kekurangan murid, kemudian pihak sekolah memperbolehkan anaknya yang belum cukup umur untuk masuk SD. SDN 3 Bedono sendiri memang sedikit kesulitan mendapatkan murid. Saat ini totalnya hanya 52 murid.
Menurut Yuli Arinta Dewi, perundungan yang terjadi juga buntut dari krisis iklim. Krisis iklim yang membuat hilangnya bangunan mengharuskan anak-anak belajar pada satu ruangan yang sama. Padahal tingkatan umurnya berbeda. Menurutnya dengan digabungkannya kelas jadi satu ruangan, akan menimbulkan kesenjangan usia. Lalu akan menimbulkan perundungan, dimana sang anak juga tak berani untuk melapor.
“Perundungan bisa terjadi, karena mereka satu kelas, jadi ada yang merasa lebih tua, sehingga yang muda jadi tersisihkan, terus karena mereka ada di kelas yang sama jadinya takut untuk melapor,” tuturnya.
Kelas 1 dan 2 yang digabung dalam satu ruangan, dan hanya dibatasi oleh triplek.
Timbulnya masalah-masalah lain ini adalah rentetan sebab akibat krisis iklim yang terus menjalar dan mengakar kuat. Sekolah yang ambles, ruang bermain yang menyempit dan menghilang, bahkan ancaman tenggelam yang nyata.
Mereka tetap belajar, tetap bermain semampunya, di tengah genangan air laut yang semakin sulit diprediksi dan tak dapat dikendalikan. Tapi sampai kapan?
Indonesia sedang mempersiapkan generasi emas 2045 yang unggul dan produktif. Namun mungkinkah cita-cita itu terwujud jika kita membiarkan anak-anak seperti Ariq dan temannya bertahan di ruang-ruang kelas yang tak lagi layak, di desa yang perlahan tenggelam?