Type

blogs

Merawat Imajinasi di Ruang Publik: Mural Partisipatif untuk Mengekspresikan Aspirasi Warga dan Hak atas Kota

Fildzah Husna
Tue, 20 Sep 2022

4 min read

Tak hanya dalam fungsinya sebagai ruang fisik, ruang publik juga memiliki makna tersendiri sebagai ruang aman untuk menyampaikan aspirasi dan mengekspresikan imajinasi warga kota. Kini, ekspresi visual seperti mural menjadi medium yang kini dapat dengan mudah ditemui di banyak ruang publik di kota. Keragaman pesan dalam mural-mural tersebut dapat menjadi refleksi sejauh mana warga dan seniman leluasa untuk turut membentuk visual kota di ruang publik. Sebagai sebuah praktik, mural merupakan salah satu alat untuk menyampaikan imajinasi dan aspirasi warga.

Henri Lefebvre dalam Writings on Cities mendeskripsikan kota sebagai œuvre, atau karya seni dan melihat kota sebagai karya kolektif yang dibentuk bersama oleh seluruh warganya. Bagaimana kemudian proses ‘kurasi’ terjadi dan memutuskan visual seperti apa yang layak ditampilkan di ruang kota akan merefleksikan seberapa demokratis kota itu sendiri.

 

Pentingnya Membangun Ruang Partisipatif untuk Menyampaikan Aspirasi Kelompok Rentan

Dalam keseharian, masih banyak warga kota, terutama kelompok rentan, belum memiliki akses untuk menyampaikan harapan, ide dan kritik mereka mengenai pembangunan kota—baik melalui kanal formal maupun informal. Partisipasi politik penyandang disabilitas dalam kehidupan sehari-hari, misalnya, masih sangat terbatas. Penelitian Kota Kita bersama UNESCO tahun 2017 di Surakarta menemukan bahwa meskipun keikutsertaan penyandang disabilitas dalam kanal partisipasi formal seperti Pemilu sudah mencapai 60%, partisipasi politik mereka di lingkungannya hingga keterlibatan di Musrenbang masih minim—hanya 27% dari mereka ikut serta dalam rapat warga dan hanya 2% yang pernah berpartisipasi dalam proses Musrenbang.

Tak hanya penyandang disabilitas, akses pada ruang-ruang partisipasi politik yang demokratis bagi kelompok rentan lainnya juga masih perlu terus didorong. Melampaui partisipasi dalam politik elektoral, ruang publik yang baik dapat mendorong bentuk-bentuk baru dan diskusi di ruang “informal” yang dapat memfasilitasi interaksi dan diskusi yang lebih bermakna untuk mendiskusikan isu keseharian di kota. Artinya, tidak hanya memaksimalkan kanal yang sudah ada dan memastikan praktiknya lebih inklusif, upaya menciptakan ruang-ruang alternatif untuk ‘bersuara’ juga perlu terus diinisiasi—salah satunya dimulai dari ruang publik.

Lalu, bagaimana kemudian karya seni seperti mural di ruang-ruang publik bisa dibangun untuk menegosiasikan kota yang lebih demokratis dan menjadi alat untuk merespon situasi di kota dan berkontribusi membangun diskursus publik?

 

Mempraktikkan Mural Partisipatif sebagai Ruang Antara  

Dalam berbagai kesempatan, Kota Kita telah bekerja bersama seniman dan komunitas di berbagai kota dalam mengimplementasikan mural partisipatif. Di Solo dan Banjarmasin, misalnya, bersama dengan kelompok seniman muda, warga turut terlibat dalam diskusi dan mengidentifikasi pesan kolektif hingga berperan serta dalam produksi pembuatan mural di ruang-ruang publik sekitar.  Dalam hal ini, ruang diskusi yang partisipatif memiliki peran penting sebagai perantara dalam memfasilitasi aspirasi-aspirasi tersebut dan menerjemahkannya dalam bahasa visual yang lebih ‘universal’. Warga, termasuk anak-anak, turut serta dalam proses mendesain dan mewarna, dan secara umum terlibat dalam keseluruhan proses pembuatannya. Harapannya, proses yang partisipatif dapat memupuk rasa kepemilikan akan ruang dan karya yang dibuat bersama, di mana warga dapat merasa menjadi bagian dari prosesnya. 

Mengangkat aspirasi dan mengamplifikasinya di ruang-ruang publik dapat memulai percakapan dan menjadi ruang berimajinasi mengenai kota inklusif.  Menggunakan proses yang mengedepankan dialog dan pendekatan kreatif, pesan dan harapan dari perspektif kelompok rentan yang jarang dibicarakan di ruang-ruang arus utama—seperti misalnya aksesibilitas infrastruktur bagi penyandang disabilitas hingga aspirasi kesejahteraan warga berpendapatan rendah—dapat menjadi bagian dan mempengaruhi percakapan warga kota secara lebih luas.

 

Imajinasi Kota Inklusif di Ruang Publik

Perubahan sosial dapat dimulai dari pesan-pesan kecil yang terus direproduksi dan menjalar menjadi kesadaran kolektif. Sehingga, tak hanya berfokus pada proses pembuatan karya yang memastikan representasi dan merefleksikan semangat kewargaan, pemilihan lokasi intervensi merupakan pertimbangan penting dalam menjangkau lebih banyak ‘audiens’ di mana pesan karya tersebut ditujukan. Ruang publik sebagai ruang di mana narasi diproduksi, menjadi medan penting untuk mengarusutamakan ide-ide inklusivitas.

Kota inklusif dimulai dari kesempatan berimajinasi yang inklusif pula. Hak atas Kota tidak hanya berhenti pada terpenuhinya kebutuhan mendasar, tetapi juga tentang pilihan dan keleluasaan untuk mengubah dan mempengaruhi kota sesuai dengan visi yang kita inginkan. Meskipun intervensi skala kecil seperti mural tidak bisa secara langsung dan menyeluruh menjadi solusi dalam meningkatkan kualitas partisipasi serta mendorong kota yang lebih demokratis, proses partisipatif dapat menjadi langkah awal yang penting dalam memulai upaya tersebut. Memvisualisasikan aspirasi-aspirasi yang tak terlihat dalam ruang publik menjadi alat penting untuk warga merawat imajinasi. Karena, pada akhirnya, imajinasi-lah yang bisa memungkinkan berbagai alternatif kehidupan kota di luar apa yang kita ‘lihat’ saat ini: kota yang lebih inklusif di mana setiap warga berkesempatan mengaktualisasikan kehidupan kota yang diidam-idamkan.

 

Referensi:

Lefebvre, Henri. & Lebas, Elizabeth. & Kofman, Eleonore. (1996). Writings on cities. Oxford {England}; Cambridge, Mass: Blackwell

Books, V. (2017). The Right to the City: A Verso Report.