Type

blogs

Scope of Work

Civic Education & Empowerment

Issue

Urban Social Forum, Youth City Fora, YUP

Lebih dari Sekadar Piknik: USF 11 sebagai Ruang Pendidikan Alternatif

Kota Kita Contributor
Tue, 09 Dec 2025

4 min read

by Chandra Manikan, Citizen Scientist for YUP Project ¹

“Pendidikan tidak melulu berlangsung di dalam ruang kelas,” begitulah kesan yang muncul saat saya terlibat dalam Urban Social Forum (USF) 11, pada hari Minggu, 31 Agustus 2025 di Taman Kota Lumintang, Denpasar. Selayaknya fungi yang menyebarkan sari-sari secara acak, jejak kegiatan seperti lokakarya, panel diskusi, dan kegiatan seni juga tersebar pada hari kedua penyelenggaraan acara. 

“Berdiskusi sambil berpiknik,” kata-kata itu sangat tepat untuk menggambarkan aktivasi ruang publik, yang secara tidak langsung juga dilakukan USF dalam upayanya berlatih mempraktikkan pendidikan alternatif. Bagi saya, pendidikan alternatif penting untuk menawarkan sudut pandang lain dari pendidikan formal, khususnya yang berkaitan dengan pengetahuan atas kota; seperti kegiatan USF ini misalnya, memberikan kesempatan bagi peserta untuk memilih sendiri ruang belajar yang mereka sukai. Dalam konteks ini, kegiatan juga berjalan secara inklusif, karena pada prosesnya tidak memaksakan peserta, justru memberi kebebasan untuk memilih ruang belajar yang sesuai dengan minat masing-masing. 


Mengisi Senja dengan Bermain sekaligus Belajar

Berbagai inisiasi kreatif yang muncul di USF 11 mencoba menghadirkan ruang belajar alternatif di luar sekat-sekat kelas formal. Beberapa di antaranya tampak dalam kegiatan yang masing-masing diaktivasi oleh Koalisi Berhak Bergerak, Bukan Main Games, Curiocity Indonesia, serta Youth City Fora. Keempat kolaborator ini memosisikan pendidikan melampaui wadah untuk transfer pengetahuan, yakni ruang untuk membangun kesadaran kritis dengan cara-cara yang segar, partisipatif, dan dekat dengan kehidupan sehari-hari.


Aktivasi dari Koalisi Berhak Bergerak dan Bukan Main Games, misalnya, mengajak peserta untuk merasakan dinamika perebutan ruang publik di perkotaan melalui papan permainan (board game) “Rebutan Jalan!”. Melalui permainan ini, peserta belajar untuk memahami bagaimana kepentingan warga, negara, dan kapital seringkali berbenturan dan perlu dinegosiasikan. Permainan bukan hanya sekadar hiburan, tetapi mampu menjelma ruang refleksi atas ketimpangan akses dan distribusi sumber daya kota.


Sementara itu, Curiocity Indonesia datang membawa lokakarya “Wali Kota Efisiensi: Uang Tipis, Solusi Manis,” yang menempatkan peserta sebagai aktor pengambil kebijakan kota dengan sumber daya yang terbatas. Simulasi ini mendorong pemahaman mengenai kompleksitas tata kelola kota: bagaimana merancang kebijakan dengan anggaran yang minim, sekaligus menjawab beragam kebutuhan publik.


Adapun Youth City Fora yang menggelar lapak “Ular Tangga Partisipasi Publik,”, sebuah permainan edukatif yang mengilustrasikan naik-turunnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan. Memodifikasi permainan ular tangga pada umumnya, permainan ini menghadirkan lompatan-lompatan progresif yang mempercepat keterlibatan warga, atau pun jebakan yang dapat menjatuhkan partisipasi kembali ke titik awal, misalnya karena birokrasi yang terlalu kaku atau minimnya transparansi kebijakan.

Secara menyeluruh, berbagai kegiatan kolaboratif ini memperlihatkan bagaimana pendidikan alternatif dapat mengambil bentuk-bentuk yang kreatif dan menyenangkan, mulai dari board game hingga simulasi kebijakan. Meski pun formatnya berbeda-beda, tetapi benang merahnya tetap sama: menghadirkan ruang belajar partisipatif menyoal isu-isu perkotaan, sistem pemerintahan, dan mekanisme demokrasi lokal. Lewat cara ini, berbagai isu yang sering dianggap rumit dan jauh dari keseharian justru dapat diurai melalui permainan yang menyenangkan, memancing rasa ingin tahu, dan mendorong refleksi kritis.

Lebih jauh, beberapa inisiatif ini menunjukkan bahwa pendidikan tidak selalu bersifat kaku atau menggurui. Justru, dengan metode alternatif yang kreatif, partisipasi warga dapat dirangsang sejak dini, untuk membentuk generasi yang tidak hanya paham hak dan kewajibannya sebagai warga, tetapi juga siap bernegosiasi dengan realitas kota yang kompleks.


Menutup Malam dengan Terlibat dalam Panggung Bersama

Sore telah berganti menjadi malam, menandakan detik-detik rampungnya Urban Social Forum 11. Malam penutupan ini bukan sekadar ajang perayaan, melainkan ruang ekspresi yang membungkus isu-isu sosial dalam bentuk seni pertunjukan. Dua penampil mengisi panggung, yakni warga peneliti (citizen scientist) dari program YUP dan juga Teater Kacak Kicak. Meski berbeda dalam urusan gaya dan wahana, keduanya tetap senada dalam menyuarakan persoalan perkotaan dan dinamika sosial yang menyertainya.

Pertunjukan dibuka dengan penampilan warga peneliti (citizen scientist) dari program YUP, lewat drama yang dirangkai dalam beberapa segmen, seakan ingin menegaskan bahwa persoalan kota bukanlah hal yang tunggal, melainkan penuh lapisan. Segmen pembuka menampilkan dialog tegang antara dua karakter: tokoh apatis dan tokoh vokal. Pertentangan keduanya menggambarkan fenomena benturan sikap warga kota dalam menghadapi masalah perkotaan—antara subjek yang memilih diam dengan subjek yang lantang bersuara. Ketegangan ini mengalir sampai ke segmen akhir melalui monolog reflektif dan pembacaan puisi. Keduanya tetap berpusat pada isu kota: dari keterasingan di tengah keramaian, hingga keresahan atas ketimpangan ruang hidup. Dengan bahasa yang puitis sekaligus kritis, pertunjukan ini terasa seperti ajakan untuk tidak tinggal diam terhadap persoalan yang dekat dengan keseharian.


Teater Kacak Kicak menyambung penampilan berikutnya dengan pendekatan yang unik dan menarik. Pertunjukan ini diperankan oleh dua aktor dengan memanfaatkan boneka sebagai medium utama. Hal ini terbilang istimewa bukan hanya soal teknik pementasannya saja, melainkan karena ia penuh imajinasi dan aktif mengajak penonton untuk terlibat secara langsung. Sepanjang pementasan, Kacak Kicak mengajak audiens ikut memberi latar dan isian suara, menjadikan penonton bukan sekadar pengamat, tetapi bagian utuh dari pertunjukan. Interaksi ini menciptakan atmosfer yang cair, hangat, sekaligus menyadarkan bahwa partisipasi publik bisa dimulai dari hal-hal kecil—ikut andil bersuara secara kolektif di atas panggung milik bersama.

Dua pertunjukan tersebut menutup USF 11 dengan menegaskan peran seni sebagai medium pendidikan alternatif, termasuk pengetahuan atas kota. Seni bukan hanya medium hiburan, tetapi juga ruang bersama untuk memaknai, mengkritisi, dan membayangkan ulang kehidupan kota yang ideal. Tidak terasa matahari sudah lama terbenam, tetapi USF 11 tetap terbit membawa sebuah pesan, bahwa pendidikan alternatif selalu mampu disemai di ruang-ruang kota bersama kebebasan memilih, keberanian bersuara, dan kesediaan warga untuk terlibat. Di malam itu panggung bukan lagi sekadar ruang tontonan, tetapi melebur menjadi ruang perjumpaan gagasan: tentang apatisme dan keberanian, tentang suara yang dibungkam dan suara yang membebaskan, serta tentang pentingnya partisipasi untuk membentuk kota yang adil untuk semua.


Catatan Kaki

1. Proyek Co-producing Digital Platforms for Youth Inclusive Urban Governance (YUP) adalah proyek penelitian terkait partisipasi orang muda dalam tata kelola perkotaan melalui platform digital yang diinisiasi oleh University College London (UCL), Kota Kita, Catalytic Action, serta SHM Foundation di Indonesia dan Lebanon.