Type

blogs

Scope of Work

Civic Education & Empowerment

Issue

Inclusive Citizenship

Kewargaan Inklusif: Mengadvokasikan Kota sebagai Sumber Daya Bersama

Tiara Limoharjo
Mon, 05 May 2025

7 Minutes Read

by Tiara Limoharjo

Penduduk di Indonesia semakin banyak yang tinggal di kota. Populasi penduduk yang tinggal di kota-kota di Indonesia diproyeksikan akan mencapai angka hingga 70%. Urbanisasi yang terjadi berjalan beriringan dengan masalah perkotaan, seperti permasalahan lingkungan dan sosial. Semakin banyaknya orang di perkotaan berarti semakin besarnya perilaku konsumsi yang dilakukan. Penggunaan transportasi – terlebih pula kendaraan pribadi – melepaskan gas emisi yang akan memengaruhi kualitas udara. Selain itu, besarnya kebutuhan atas air, lahan, pangan, dan konsumsi esensial lainnya memperbanyak limbah yang dihasilkan. Yang mana semuanya memiliki bagian dalam mendorong krisis iklim.

Secara sosial, pertumbuhan kota dengan cepat belum mampu merangkul seluruh kelompok masyarakatnya. Bourdieu – sosiolog Prancis – menggunakan istilah “modal” untuk mengartikan sumber daya yang dapat dipunyai setiap orang. Ada empat jenis modal atau kapital yang bisa diakumulasi: ekonomi, sosial, kultural, dan simbolik. Menurutnya, modal inilah yang menentukan posisi seseorang di masyarakat. Adanya distribusi modal yang tidak merata menyebabkan beberapa kelompok mengalami ketimpangan sosial. Di dalam konteks perkotaan, kebutuhan kelompok marginal akan kehidupan yang berdikari belum dapat seluruhnya dipenuhi. Misalnya, masih kurangnya fasilitas inklusif untuk orang dengan disabilitas mengakses transportasi umum. Atau masih adanya perasaan akan ketidakamanan ketika mengakses jalan raya bagi perempuan. Hambatan- hambatan terhadap kebutuhan dasar di perkotaan menambah beban bagi kelompok marginal untuk berdaya. 

Keresahan akan permasalahan di perkotaan yang semakin bervariasi membawa sebuah pertanyaan: Bagaimana menjamin penghidupan yang kayak di kota? Dalam prinsipnya, kota seharusnya menjadi tempat hidup yang layak huni untuk semua orang. Mencapai kehidupan yang adil untuk semua berarti tidak meninggalkan siapa pun di belakang. Tetapi dalam praktiknya, kota yang terbangun lebih sering tidak berhasil menjadi ruang untuk seluruh kelompok masyarakat memberdayakan diri mereka masing-masing. Celah yang terbentuk antara prinsip akan kota yang adil dan kenyataan yang terjadi mengharuskan terbentuknya upaya-upaya kolektif dalam merespon celah yang terbentuk ini. 

Menerapkan Inclusive Citizenship di Kota

Kewarganegaraan atau Citizenship lebih sering dipahami secara hukum – sebagai hak sebagai seorang warga negara yang diberikan oleh negara – atau secara politik – hubungan antara warga dengan demokrasi. Kerangka berpikir ini membatasi definisi citizenship yang mana berkontestasi sebab adanya distribusi kapital yang tidak merata. Menyadari hal ini, maka Inclusive Citizenship melihat kewarganegaraan sebagai sesuatu yang tidak hanya vertikal – antara negara dan warga – tetapi juga horizontal – yakni hubungan antarwarga, yang sama pentingnya untuk dipraktikkan. Prinsip Inclusive Citizenship diterapkan di kota merekognisi seluruh orang yang tinggal di kota, baik secara permanen ataupun tidak, dianggap sebagai warga kota. Maka dari itu, seluruh kelompok masyarakat memiliki hak yang setara di kota. Lebih jauh dari itu, penerapan inclusive citizenship memberikan warga kewenangan untuk menuntut distribusi hak dasar di kota tempat tinggal mereka. Kabeer menguraikan pemaknaan inclusive citizenship ke dalam empat poin: keadilan (justice), rekognisi (recognition), determinasi diri (self-determination), solidaritas (solidarity).

Dalam melaksanakan pemaknaan inclusive citizenship, tidak bisa jika hanya mengandalkan kewarganegaraan yang vertikal saja. Kehadiran masyarakat sipil yang memiliki fokus di perkotaan menjadi pengisi celah yang terbentuk antara masyarakat dan pemerintah dalam menjamin kehidupan yang adil di kota. Kewarganegaraan yang horizontal – sebagaimana yang berusaha dipraktikkan oleh masyarakat sipil – menjadi penting kehadirannya sebagai jembatan ketika negara tidak cukup tanggap terhadap kebutuhan rakyat. Kiat masyarakat sipil perkotaan berusaha untuk mendorong keberdayaan kelompok marginal melalui advokasi hak-hak kelompok marginal yang tinggal di perkotaan.

Keberadaan masyarakat sipil dalam meningkatkan suara kelompok marginal bukan untuk menggantikan atau merasa lebih tahu dari kelompok marginal itu sendiri. Tetapi peran advokasi dari masyarakat sipil berfokus untuk mengubah sistem yang menghalang suara kelompok marginal untuk terdengar, yang dapat diimplementasikan melalui banyak cara, salah satunya adalah berlatih mengartikulasikan kewarganegaraan.

Dengan mengintegrasikan konsep inclusive citizenship, maka kerja-kerja advokasi untuk mendorong kesetaraan hak kelompok marginal di perkotaan akan menekankan empat unsur yang bergerak bersama dan saling memengaruhi satu sama lain. Inclusive citizenship terjalin melalui adanya perasaan memiliki, partisipasi, agensi diri, dan akses yang tidak diskriminatif. 



Advokasi yang Inklusif

Cara awal dalam mengadvokasikan kelompok marginal di perkotaan adalah menciptakan rasa terikat antarsatu sama lain sebagai satu komunitas. Seringkali keacuhan kepada kelompok marginal lahir dari ketidakingintahuan yang berasal dari tidak adanya rasa keterikatan terhadap komunitasnya dan orang-orang didalamnya. Cara ini lekat dengan nilai solidaritas, yang mana proses ini tidak berhenti di mengidentifikasi diri sama dengan orang lain, tetapi bergerak dalam kesatuan dan menuntut keadilan dan pengakuan. Dalam upaya advokasi, penting untuk menciptakan ruang-ruang dimana seluruh kelompok dapat bertemu dan berbagi kesadaran kolektif mengenai kota mereka. Keterikatan yang berasal dari akar identitas bersama akan menciptakan tanggung jawab kolektif yang menggerakkan mereka untuk berpartisipasi demi kesejahteraan seluruh masyarakat di kota – secara khusus kelompok marginal.

Ketika sudah tersedia ruang yang diisi orang-orang yang memiliki kesadaran untuk berpartisipasi terhadap perkembangan kotanya, lalu bagaimana kita memastikan agar upaya advokasi yang dilakukan secara tepat mengangkat kebutuhan kelompok marginal? Inclusive citizenship memperlakukan seluruh warga setara. Agar advokasi tidak diskriminatif, poin penting yang harus dilaksanakan dalam pelaksanaan advokasinya adalah menempatkan kelompok marginal sebagai subjek. Tidak hanya merekognisi diri dan nilai yang mereka miliki, tetapi juga menghormati perbedaan-perbedaan tiap subjek dalam kelompok marginal. Hal ini dilakukan untuk memastikan kebijakan atau lingkungan binaan yang terbangun sesuai dengan hak kelompok marginal untuk memberdayakan diri mereka sendiri di kota.

Keterlibatan kelompok marginal sebagai subjek dalam advokasi berarti memberikan mereka ruang untuk berpartisipasi menyuarakan pendapat mereka terkait pembangunan kota. Adanya determinasi diri memberikan ruang melatih kemampuan untuk melakukan kontrol atas kehidupan mereka sendiri. Advokasi tidak berarti mengambil alih atas suara kelompok marginal. Sebab dengan melakukan hal tersebut, berarti secara tidak langsung kita mengatakan kelompok marginal tidak layak menggaungkan suara mereka sendiri. Karena dari itu penting mengarusutamakan determinasi diri dalam mengadvokasikan kelompok marginal.

Meskipun terindentifikasi sebagai kelompok marginal, tetapi pendekatan advokasi tidak ada yang bisa dipukul rata untuk seluruh kelompok. Advokasi perlu dilakukan secara spesifik sesuai kebutuhan tiap kelompok untuk memastikan suara-suara terdengar lebih jelas. Dalam melakukan advokasi yang melibatkan subjek anak-anak, contohnya, perlu dipahami bahwa anak-anak – berapa pun usianya – memiliki agensi terhadap dirinya sendiri. Kesadaran akan ini perlu ada, sehingga dalam prosesnya advokasi tidak diskriminatif terhadap hak anak-anak dalam mengupayakan kota yang aman dan nyaman untuk mereka. Misalnya dalam mengadvokasikan kota yang ramah untuk anak-anak, perlu dilakukan strategi agar anak-anak dapat secara leluasa menyampaikan pandangan mereka. Teater musikal menjadi wadah yang kreatif dan menyenangkan untuk dilakukan oleh anak-anak, tetapi masih bisa untuk menjadi medium menyampaikan pesan advokasi.

Mendorong kota agar lebih inklusif adalah upaya kolektif yang melibatkan berbagai pihak di kota. Upaya-upaya ini menjamin agar warga dapat tinggal di kota yang mampu mengakomodasi pemberdayaan diri seluruh kelompok. Berperilaku secara adil dalam advokasi berarti dapat memahami kapan adil untuk memperlakukan orang lain sama, dan kapan adil untuk memperlakukan orang lain secara berbeda. Dalam mewujudkan hal tersebut, CSOs perkotaan harus mampu secara aktif melibatkan kelompok marginal dalam proses partisipatif. Bersikap solidaritas menuntut determinasi diri secara kolektif, tidak hanya dari kelompok tertentu, tetapi dari seluruh warga kota. Harapannya, ketika setiap warga kota telah menyadari hak kolektif, bahwa seluruh kelompok masyarakat berperan aktif untuk mendorong pemenuhan inklusivitas di kota, maka kota akan satu langkah bertransformasi menjadi kota yang setara untuk semua.