Type

blogs

Issue

Urban food systems

Iklim, Pangan, dan Ruang Kota

Silvania Utami
Mon, 25 Jul 2022

5 min read

oleh Silvania Utami dan Nayaka Angger

Sebagai warga, kita mungkin sering mendengar bagaimana cuaca buruk dapat memengaruhi jumlah, kualitas hasil panen, hingga harga beberapa komoditas pangan. Krisis iklim, pada praktiknya, telah dan akan terus berdampak pada kehidupan sehari-hari warga kota dengan berbagai bentuk, tak terkecuali isu pangan. Saat ini, kecemasan akan terjadinya krisis pangan di Indonesia telah menjadi topik hangat di kalangan pemerintah Indonesia dan juga di panggung global¹. Apalagi, di tengah tantangan ekonomi dan geopolitik global dan pandemi COVID-19, menyebabkan ketimpangan antara permintaan dengan pasokan pangan, yang berdampak pada melonjaknya harga komoditas pangan di seluruh dunia, menunjukkan betapa rentannya rantai ketersediaan pangan, khususnya di kota. Ketidaktentuan cuaca yang disebabkan oleh perubahan iklim juga telah mempengaruhi produksi pangan di Indonesia, salah satunya pada sektor pertanian. Perubahan curah hujan, kekeringan, dan banjir yang dipicu oleh monsun Australasia dan El Niño Southern Oscillation (ENSO) terbukti pernah mengakibatkan rusaknya produksi pertanian di Indonesia. Selain itu, fenomena hidrometeorologi diindikasikan telah menjadi penyebab kenaikan harga beras pada awal tahun 2022². Beragam fenomena iklim tersebut, sayangnya, masih akan menjadi tantangan dalam penyediaan pangan ke depannya, dan kota sebagai konsumen terbesar perlu mulai untuk memberi perhatian lebih terkait isu ini. 

Di saat yang sama, kota terus bertumbuh dan kebutuhan akan pangan terus meningkat — mengubah sistem pangan perkotaan secara terus menerus dan berkontribusi pada krisis iklim secara keseluruhan. Urbanisasi memungkinkan transformasi sistem pangan dengan mempengaruhi preferensi konsumen dan membentuk pola permintaan pangan secara spasial³. Tren urbanisasi di Indonesia menunjukkan pada tahun 2045, 70 persen penduduk Indonesia akan tinggal di kota⁴ dan nilai riil konsumsi pangan di Indonesia diproyeksikan meningkat lebih dari empat kali lipat. Seperti yang kita ketahui, kota tidak memiliki banyak ruang produksi pangan dan bergantung pada sumber makanan dari luar. Pada praktiknya, urbanisasi telah mengubah sebagian besar lahan pertanian, mengurangi ketersediaan air pertanian, dan meningkatkan biaya transportasi makanan karena bertambahnya jarak antara lahan produksi dan pasar — dan kita, sebagai bagian dari warga kota, turut menjadi bagian dari sistem pangan perkotaan yang dinamis ini.

Hal lain yang tidak kalah krusial, aktivitas kota secara umum merupakan kontributor yang signifikan terhadap penyebab perubahan iklim. Kota bertanggung jawab atas 75 persen emisi gas rumah kaca (GRK) dengan transportasi dan emisi dari bangunan menjadi salah satu kontribusi terbesar⁵. Selain itu, Badan Pangan Dunia, FAO⁶ juga menyebutkan limbah makanan ikut menyumbang emisi yang memperparah krisis iklim. Menurut sebuah studi⁷, kota-kota di Indonesia menghasilkan limbah makanan berkisar antara 23-48 juta ton dari tahun 2000 hingga 2019, setara dengan 115-184 kilogram per kapita per tahun. Limbah tersebut secara langsung berdampak pada lingkungan dan menciptakan emisi gas rumah kaca sebesar 1.702,9 megaton CO2.

Di sisi lain, urbanisasi juga mendorong ruang untuk peluang dan inovasi baru dalam sistem pangan perkotaan. Kota-kota sebagai pusat konsentrasi bagi kaum muda dan masyarakat sipil, memiliki infrastruktur dan sumber daya manusia yang mumpuni yang dapat menjadi mesin untuk menggerakkan tuas perubahan melalui inovasi-inovasi dan inisiatif baru dalam bentuk teknologi, start up, hingga gerakan kolektif. Di Bandung, Community Supported Agriculture (CSA) telah dipraktikkan sebagai bentuk alternatif pertanian perkotaan yang berkelanjutan dengan fokus pada kaum muda berpenghasilan rendah. CSA memanfaatkan lahan terlantar dan menanaminya dengan tanaman pangan untuk menyediakan makanan bagi 25 keluarga melalui kegiatan pemberdayaan pemuda. CSA ini berupaya untuk menghubungkan petani dan konsumen secara langsung sehingga dapat memperpendek rantai pangan yang menguntungkan kedua belah pihak.

Dengan demikian, pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana kinerja dari sistem pangan sangatlah penting untuk memastikan bahwa sistem pangan perkotaan benar-benar berkembang sehingga meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan kontribusi positif dari fenomena urbanisasi.

 

Pangan dan Perencanaan

Kami percaya bahwa pemahaman yang lebih holistik tentang sistem pangan perkotaan dan perubahan iklim dengan mempertimbangkan aspek yang beragam dari sistem pangan serta mengintegrasikannya ke dalam kehidupan perkotaan di Indonesia adalah hal yang krusial. Sayangnya, dalam banyak diskusi, pembangunan perkotaan umumnya tidak membahas masalah sistem pangan perkotaan secara khusus dan mendalam. Selain itu, banyak studi mengenai sistem pangan perkotaan di Indonesia biasanya masih berfokus hanya pada aspek pertanian perkotaan, dan wacana yang mengintegrasikan sistem pangan perkotaan dengan elemen perkotaan seperti transportasi, infrastruktur, limbah, budaya, stakeholder, dan perubahan iklim masih sangat terbatas.

 

“Perencanaan sistem pangan perkotaan harus mencakup seluruh pemangku kepentingan sistem pangan formal dan informal, mengakui keduanya sebagai sumber daya yang krusial untuk memahami sistem pangan lokal dan menangani ketahanan pangan dan gizi melalui solusi berbasis tempat.”

- Cabannes, Y & Marocchino, C, 2018

Berbagai penelitian⁸ juga menyoroti kontribusi dari sistem pangan informal terhadap ekonomi perkotaan – yakni untuk merawat budaya pangan dan ketahanan pangan perkotaan, terutama untuk rumah tangga berpenghasilan rendah. Kami memiliki hipotesis bahwa melalui beragam cara, informalitas dapat membantu kota memastikan ketahanan pangan untuk semua orang setidaknya dalam skala individu. Sebagai contoh, ketika akses terhadap pangan menjadi terbatas selama pandemi, pedagang informal serta kurir makanan berperan dalam membantu meningkatkan akses terhadap makanan yang terjangkau di masa krisis. 

Dilihat dari segi kebijakan, di Indonesia, belum ditemukan adanya signifikansi di level nasional untuk melakukan perbaikan yang terpadu pada sistem pangan perkotaan. Meski PBB melalui UN Food System Summit 2021 telah menggaungkan komitmen bagi negara-negara untuk melakukan reformasi dalam sistem pangan, kami belum menemukan adanya yurisdiksi atau mandat di Indonesia yang secara khusus menyebutkan pengelolaan isu krisis iklim dan sistem pangan perkotaan untuk dapat dikelola dalam sebuah sistem yang terintegrasi.

Dalam upaya mengangkat keterhubungan antara isu pangan, iklim, dan kota, tim Kota Kita saat ini melakukan riset terkait sistem pangan perkotaan secara komprehensif melalui kerangka inisiatif Think Climate Indonesia. Dalam penelitian ini, Kota Kita berupaya mengidentifikasi korelasi antara sistem pangan perkotaan dan risiko perubahan iklim di dua kota di Indonesia yakni Solo dan Jakarta sehingga dapat diperoleh wawasan tentang kebijakan dan kegiatan yang dapat membantu menurunkan risiko dan kerentanan perubahan iklim sekaligus diharapkan dapat berkontribusi dalam meningkatkan keberlanjutan sistem pangan perkotaan di Indonesia. Sebagai titik awal, penelitian ini akan mengidentifikasi sistem pangan perkotaan di kota Solo dan Jakarta. Kedua, studi ini akan berkonsentrasi pada pengumpulan bukti terkait potensi akibat krisis iklim, baik dampak biofisik maupun ekonomi dan lingkungan terhadap ketahanan pangan, termasuk di dalamnya aspek ketersediaan, aksesibilitas, dan pemanfaatan. Terakhir, penelitian ini akan mengkaji bagaimana sistem pangan perkotaan (dari produksi, distribusi, hingga konsumsi) berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca yang berdampak terhadap krisis iklim yang ada. 

Di tengah kompleksitas isu krisis iklim dan urbanisasi, sudah saatnya kota-kota berinisiatif dan mengambil tindakan untuk bertransformasi untuk mewujudkan sistem pangan yang inklusif, tangguh, aman, sehat, bergizi, dan terjangkau bagi semua.

Tulisan ini adalah bagian dari riset Urban Climate Foodprint yang didukung oleh IDRC dan Oak Foundation melalui inisiatif Think Climate Indonesia.

Referensi

1. KOMPAS.com. Sri Mulyani sebut krisis pangan global Berpotensi Berlanjut Hingga 2023.

2. Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada. Extreme Weather Threat, Indonesia's Food Commodity Trade Sector Should Be Cautious of Crop Failure and Price Spike.

3. International Food Policy Research Institute. The Impact of Global Climate Change on the Indonesian Economy.

4. The World Bank. Augment, Connect, Target: Realizing Indonesia’s Urban Potential.

5. UN Environment Program. Cities and climate change.

6. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Food wastage footprint & Climate Change.

7. Indonesia Research Intitute Japan. The Problem of Food Loss & Waste and Malnutrition in Indonesia.

8. Yves Cabannes, Cecilia Marocchino. Integrating Food into Urban Planning.