Type

blogs

Bertemu di Tengah: Kita Butuh Lebih Banyak Ruang untuk Belajar dari Satu Sama Lain

Fildzah Husna
Mon, 06 Feb 2023

4 min read

Komunitas yang inklusif dimulai dari keterbukaan untuk saling belajar dalam memahami perbedaan kebutuhan satu sama lain. Sayangnya, dalam keseharian, ruang untuk bertemu dan berinteraksi secara organik antara warga masih amat minim. Misalnya, masih sedikit sekali kesempatan bagi kelompok dengan disabilitas dan non-disabilitas untuk berkegiatan bersama—membuat banyak dari kita belum terbiasa untuk peka akan kebutuhan dan tantangan yang berbeda-beda. 

Melalui rangkaian diskusi publik, Gerkatin, Ruang Atas, dan Kota Kita memfasilitasi pertemuan teman-teman dengan disabilitas dengan non-disabilitas, utamanya teman Tuli dengan teman Dengar. Mengangkat tajuk #MenjadiInklusif, rangkaian diskusi ini berharap dapat menjadi ruang tengah untuk belajar dan berproses bersama dalam mendorong kota dan masyarakat yang lebih inklusif. 

Sekelompok Tuli memerhatikan temannya yang sedang menjelaskan sesuatu dalam Bahasa Isyarat Indonesia atau BISINDO.

Rangkaian kegiatan diskusi dimulai dengan mempelajari kembali mengenai apa itu inklusivitas disabilitas dan gender, serta bagaimana nilai-nilai tersebut memiliki makna dan wujud dalam keseharian di kota. Berangkat dari sana, diskusi berlanjut dengan perbincangan mengenai apa-apa saja yang perlu diperhatikan dalam mempelajari serta berinteraksi dengan budaya Tuli, serta bertukar pengalaman antara Tuli dan Dengar untuk menumbuhkan solidaritas dan ide-ide kolaborasi. Di akhir rangkaian diskusi, kita belajar dari pengalaman seniman dengan disabilitas dalam membuat karya dan upaya membangun dampak dari karya tersebut dalam meningkatkan kesadaran publik tentang isu inklusivitas.

 

Membuat Ruang Inklusif adalah Upaya Bersama

Diskriminasi yang dialami penyandang disabilitas, misalnya teman Tuli, memang nyata terjadi—dan diskriminasi tersebut sebagian terjadi karena ketidaktahuan. Beberapa partisipan Tuli yang mengalami kesulitan berinteraksi dengan teman Dengar, misalnya dalam perkuliahan di kampus hingga dalam interaksi sosial sehari-hari. Begitu pula sebaliknya, banyak teman Dengar masih awam dengan budaya serta kebutuhan teman Tuli, sehingga merasa ragu dan takut untuk memulai interaksi. Sebagaimana refleksi salah satu partisipan Tuli, “...oleh karenanya, cara melawan yang paling mudah adalah dengan mengajak ngobrol juga mengajarkan kemampuan berbahasa isyarat.” 

Namun, tentunya, upaya tidak bisa dilakukan oleh satu pihak saja. Upaya mewujudkan ruang interaksi dan dialog akan sangat sulit didorong jika hanya teman-teman Tuli saja yang melakukan inisiatif. Sejak dini, kita terbiasa hidup terpisah di berbagai kegiatan publik. Gap dalam pendidikan antara pendidikan umum dan pendidikan luar biasa, utamanya dalam menjembatani komunikasi berbeda dengan teman Tuli, membuat tantangan yang lebih besar lagi dalam interaksi sehari hari. Artinya, dibutuhkan dorongan yang lebih besar dan struktural dalam memfasilitasi ruang-ruang pertemuan dan pertukaran pengetahuan antara komunitas disabilitas dan non-disabilitas. Lantas, bagaimana memulai percakapan dalam membangun masyarakat inklusif di kota? Apa yang bisa dilakukan untuk membuat ruang-ruang publik yang mewadahi keberagaman identitas dan aspirasi?

Sejak 2011, Indonesia telah meratifikasi Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) sebagai upaya melindungi, menghormati, dan memenuhi hak penyandang disabilitas. Dalam Undang-undang No. 8 Tahun 2016, hak penyandang disabilitas dalam berpolitik, mendapatkan layanan publik, hingga terlibat dalam kegiatan bermasyarakat—serta hak berekspresi, berkomunikasi, dan memperoleh informasi merupakan hal yang diakui serta dilindungi oleh Negara. Upaya perlindungan berbasis tentunya tidak bisa berhenti pada aturan kebijakan. Di level kota, sudah selayaknya pemerintah kota mulai memanifestasikan komitmen perlindungan hak disabilitas dalam implementasi program-program yang lebih memfasilitasi ruang publik yang secara intensional didesain untuk mendorong lebih banyak pertemuan warga kota dengan beragam identitas. Memperhatikan aspek-aspek non-fisik dengan memperbaiki kualitas layanan publik serta inklusivitas di sektor pendidikan juga menjadi hal yang tak kalah penting.

Dalam praktiknya, membangun ruang partisipasi di mana teman-teman dengan disabilitas dapat dengan aman dan nyaman terlibat bukanlah upaya yang dapat dilakukan secara instan. Sebagai warga kota, kita dapat turut terlibat dengan terus merawat ruang belajar dan jejaring sosial di kota untuk menumbuhkan solidaritas yang lebih luas. Meskipun berskala kecil, dengan merawat pertemanan dengan beragam kelompok dan kepekaan terhadap situasi yang berbeda serta membagikan informasi kepada keluarga, teman, dan orang-orang di lingkungan sekitar, sebagai individu kita dapat berkontribusi memperkuat serta memupuk inklusivitas dalam keseharian. Hal-hal sederhana seperti mengundang teman disabilitas dalam acara dan kegiatan serta mempelajari budaya dan kebutuhan disabilitas dalam interaksi dapat menjadi permulaan yang penting—yang harapannya, memberikan efek domino dalam memperluas kesadaran publik akan pentingnya kesamaan kesempatan bagi semua orang di kota.

 

Referensi:

  • UN General Assembly, Convention on the Rights of Persons with Disabilities: resolution / adopted by the General Assembly, 24 January 2007, A/RES/61/106, dapat diunduh di: LINK [diakses 6 Februari 2023]
  • UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, dapat diunduh di: LINK [diakses 6 Februari 2023]