Type

blogs

Dua Sisi Ekonomi Informal: Kesempatan atau Kerentanan?

Fildzah Husna
Fri, 22 Oct 2021

Ilustrasi: Pekerja di sektor informal sebagai tulang punggung ekonomi kota di Indonesia.
Mohammad Nur Fiqri/Kota Kita

Di Indonesia, sektor ekonomi informal mendominasi berbagai aktivitas di kota—mulai dari lapangan pekerjaan hingga penyediaan rumah. Informalitas kemudian menjadi corak penting dalam karakter kota dan pembangunan. Mudahnya ekonomi informal menyesuaikan dan merespon konteks di sekitarnya menjadikannya sektor yang dapat diandalkan dalam menyediakan kebutuhan-kebutuhan warga kota. Misalnya, di kawasan perkantoran elit di Jakarta, pekerja yang membutuhkan alternatif makan siang yang terjangkau amat bergantung pada pedagang kaki lima (PKL) dan warung-warung makan kecil di sekitar kantornya untuk dapat menghemat pengeluaran mereka. Ketika mencari tempat tinggal, misalnya, kamar indekos di kampung-kampung kota-lah yang menyediakan hunian dengan harga yang terjangkau bagi pekerja kelas menengah ke bawah.

Riset yang dilakukan Rame-Rame Jakarta menunjukkan, sektor informal menjadi penyedia kebutuhan sehari-hari yang bisa diandalkan di antara himpitan kebutuhan yang semakin tinggi dan upah yang terbatas. Sebagai contoh, satu orang pekerja dapat menghemat pengeluaran hingga lebih dari 18 juta rupiah per tahunnya bila memilih membeli makan siang di warung makan informal dan PKL terdekat. Komoditas dari sektor informal amatlah penting dalam menyuplai kebutuhan warga terutama kelompok rentan. Pekerja kerah biru seperti kuli bangunan, supir angkutan, hingga pengendara ojek; mereka tidak hanya membutuhkan, tetapi bergantung pada sektor informal karena hanya dari sektor informal kebutuhan mereka dapat terpenuhi sesuai dengan kemampuan ekonomi yang mereka miliki.

Praktiknya, fleksibilitas ini jugalah yang menjadi faktor pendorong banyak warga, terutama kelompok rentan, ‘memilih’ menjadi bagian dari ekonomi informal. Di Indonesia, lebih dari 74 juta atau 57% pekerja berusia di atas 15 tahun di Indonesia bekerja di sektor ekonomi informal (BPS, 2019). Selain itu, tenaga kerja informal didominasi oleh mereka dengan tingkat pendidikan rendah (BPS, 2018) dan perempuan (BPS, 2017)—menjadi sektor yang memayungi banyak kelompok rentan di kota. Jika ditelisik, keterbatasan ekonomi formal dalam memberi lapangan pekerjaan yang layak serta peran pemerintah dalam menyediakan jaminan sosial yang masih belum bisa menjangkau banyak kelompok rentan—membuat pekerjaan-pekerjaan informal menjadi opsi yang paling mudah diakses. Misalnya, di masa krisis pandemi COVID-19, ketika banyak warga mengalami PHK dan kehilangan pekerjaan, banyak dari mereka beralih menjadi informal untuk bertahan hidup. Sektor informal juga dengan cepat beradaptasi dan mencari celah-celah untuk kembali beraktivitas di tengah pembatasan ketika pandemi.

Terlepas dari statusnya yang ‘tidak resmi’ seringkali membuat mereka dianggap tidak dapat diatur hingga disebut ilegal, kita perlu mengakui bahwa informalitas menjadi tulang punggung ekonomi di Indonesia. Aktivitas ekonomi informal menyediakan kebutuhan sehari-hari sebagian besar warga kota—sekaligus menjadi ruang penghidupan dan sumber pendapatan mereka. Namun, realitasnya, peran sektor informal yang sangat signifikan dalam menopang kota-kota belum sejalan dengan kualitas pemenuhan kebutuhan dan hak dasar mereka secara layak. Meski memiliki peran amat signifikan dalam keseharian, warga dan aktor-aktor di sektor informal masih sering diposisikan sebagai ‘yang lain’ dalam praktik membangun kota. 

Tidak adanya regulasi yang memayungi praktik-praktik yang mereka lakukan membuat mereka tidak memiliki jaminan akses terhadap layanan-layanan dasar seperti kesehatan, pendidikan, hingga modal dan pelatihan pengembangan usaha. Ditambah lagi, banyak dari pekerja informal tidak memiliki akses untuk berbagai bantuan ekonomi, terutama di saat krisis, akibat persyaratan administrasi. Ditambah lagi, jika ditinjau dari segi keamanan dan kesehatan, kondisi lingkungan kerja mereka masih jauh dari kondisi yang ideal. Misalnya, di pasar-pasar tradisional di Solo dan Yogyakarta, ibu-ibu buruh gendong memberikan jasanya dengan risiko tinggi terhadap kecelakaan dan cedera saat bekerja. Apalagi, desain pasar tradisional seringkali belum sepenuhnya memenuhi standar keamanan dan belum mengakomodasi kebutuhan pekerja pasar. Tantangan kerentanan ini diperparah dengan tidak adanya jaminan layanan kesehatan yang mereka dapatkan sebagai pekerja karena status informal mereka. Cerita dari ibu-ibu buruh gendong di Yogyakarta, di mana kebutuhan dan risiko kesehatan sepenuhnya merupakan tanggung jawab mereka sendiri, menjadi contoh betapa rentannya situasi banyak pekerja informal. 

Dua sisi informalitas ini—satu sisi sebagai tulang punggung yang memberi kesempatan ekonomi serta menyediakan kebutuhan warga kota, satu sisi lainnya menjadi tantangan penyediaan pekerjaan dan kehidupan yang layak untuk semua—memantik pertanyaan refleksi kita bersama-sama: jika ekosistem informalitas di kota merupakan entitas yang punya peran besar dalam membangun kota sehingga kita perlu merawat bentuk-bentuk informalitas ini, bagaimana di saat yang sama kita dapat memastikan penghidupan yang layak dan jaminan akan akses pada hak-hak dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan hunian layak? Pada akhirnya, yang mungkin kita butuhkan adalah keluar dari jebakan dikotomi formal dan informal—dan melihat informalitas dengan lebih menyeluruh untuk kembali ke misi yang paling mendasar, yakni memastikan kehidupan yang layak dengan alternatif sumber ekonomi yang beragam dan inklusif untuk semua warga kota.